Anastasia Crickley (Foto: Maynooth University) |
SUVA, FIJI,suarayobandolma.blogspot.co.id - Sebuah komite
yang berada di bawah naungan Perserikatan Bangsa-bangsa, Committee on
the Elimination of Racial Discrimination (CERD) diketahui telah
mengirimkan surat notifikasi kepada perwakilan tetap Indonesia di PBB
tentang berbagai tuduhan dan dugaan kekerasan dan diskriminasi rasial di
Papua.
Adanya surat ini diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Pacific Islands
Association of NGO's (PIANGO), Emele Duituturaga, dalam sebuah siaran persnya yang dipublikasikan pertama kali oleh Fiji Times
akhir pekan lalu. PIANGO adalah sebuah lembaga swadaya masyarakat
berbasis di Suva, Fiji, dan selama ini bergiat mengadvokasi hak-hak
orang asli Papua sebagai bagian dari rumpun Melanesia.
Surat notifikasi tersebut, menurut Duituturaga, ditulis oleh ketua
CERD, Anastasia Crickley, yang memberitahukan kepada perwakilan tetap
Indonesia di PBB bahwa berbagai tuduhan pembunuhan dan kekerasan
terhadap penduduk asli Papua belakangan ini telah menjadi perhatian
Komite dalam sesi pertemuan mereka.
"Saya menginformasikan kepada Anda bahwa pada sesi ke-90, CERD telah
mempertimbangkan, di bawah prosedur peringatan dini dan aksi mendesak,
tuduhan penggunaan kekerasan berlebihan, penangkapan, pembunuhan dan
penyiksaan orang-orang asli Papua di Papua, Indonesia, dan tuduhan
tentang diskriminasi terhadap orang-orang tersebut, yang telah diangkat
untuk diperhatikan oleh lembaga swadaya masyarakat," tulis Crickley
dalam suratnya tertanggal 3 Oktober.
Surat itu mengutip laporan yang mengatakan bahwa antara April 2013
dan Desember 2014, pasukan keamanan telah membunuh 22 orang, terkait
dengan sejumlah unjuk rasa. Dikatakan pula, sejumlah orang lainnya juga
telah terbunuh atau terluka sejak Januari 2016.
Lebih jauh, disebutkan bahwa ada laporan bahwa pada bulan Mei 2014
lebih dari 470 orang asli Papua ditangkap di berbagai kota di Papua
terkait dengan unjuk rasa menentang ekstraksi dan kegiatan perkebunan.
"... penangkapan tersebut telah dilaporkan meningkat sejak awal 2016
mencapai 4000 orang antara April dan Juni 2016 dan termasuk menangkap
aktivis hak asasi manusia dan wartawan. Tindakan-tindakan seperti yang
dilaporkan ini tidak pernah diselidiki dan mereka yang bertanggung jawab
bebas tanpa hukuman."
Dikatakan, bahwa laporan yang mengangkat isu ini ke CERD mengklaim
bahwa represi terhadap orang asli Papua merupakan akibat dari salah
tafsir dan kurangnya pelaksanaan yang benar UU Otsus oleh pemerintah
daerah dan pemerintah pusat Indonesia. Laporan itu juga mengklaim bahwa
tindakan-tindakan pasukan keamanan melanggar hak-hak kebebasan
berkumpul dan berserikat.
Duituturuga yang selama ini sangat kritis terhadap Indonesia,
mengatakan surat ini merupakan sinyal keseriusan PBB menghadapi isu ini.
Menurut dia, CERD memberi waktu Indonesia sampai 14 November untuk
memberikan informasi untuk menjawab tuduhan-tuduhan itu. Di antara
jawaban yang diharapkan adalah tentang status implementasi UU Otonomi
Khusus Papua serta langkah-langkah yang telah diambil untuk menjamin
perlindungan efektif terhadap orang asli Papua terhadap penangkapan dan
penahanan sewenang-wenang serta ancaman pencabutan nyawa.
Menurut Duituturuga, kalangan LSM internasional bersama dengan CERD menunggu jawaban Indonesia pada 14 November nanti.
Sumber: satuharapan.com
0 komentar:
Posting Komentar