KONTRADIKSI DI
DALAM TUBUH KOMODITI
Salah satu watak dari akumulasi kapital adalah keberlanjutan. Agar
kapitalis tetap eksis dalam melakukan akumulasi kapital, kapitalis harus berpikir
agar komoditi yang dijualnya di pasar terus mengalami permintaan dan untuk
itulah salah satu cara yang dilakukan oleh kapitalis adalah membuat komoditi
yang diciptakan oleh buruh dengan mutu yang rendah. Karena jika komoditi
bermutu rendah, maka si konsumen tidak akan awet dalam mengkonsumsi komoditi
yang dia belinya dari si kapitalis.
Nah, karena tidak awet, maka si konsumen akan membuang komoditi
yang sudah tidak bisa dikonsumsinya lagi tersebut, tidak dikonsumsi karena
mungkin karena sudah rusak atau mungkin juga sudah mengalami kelambatan dalam
pengoperasionalannya sehingga harus diganti, setelah membuang komoditi yang
telah tidak dapat digunakannya lagi, maka si konsumen pun akan membeli kembali
komoditi serupa kepada si kapitalis. Dan dengan demikian, maka terjadilah
keberlanjutan akumulasi kapital yang sudah tentu menguntungkan dan
menggunungkan kantong uang si kapitalis.
Namun demikian, apabila komoditi diciptakan dengan mutu yang
rendah, ancaman yang segera dihadapi oleh si kapitalis adalah ditinggalkan oleh
konsumennya karena ada kapitalis lain—yang modalnya lebih besar—yang menawarkan
komoditi yang sama dengan mutu yang lebih baik. Dan jika hal ini terjadi, maka
si kapitalis yang bermodal kecil pun harus meningkatkan mutu komoditinya, namun
dengan resiko rugi. Dan kerugian inilah yang kemudian memberikan kesempatan
kepada kapitalis yang bermodal besar untuk menghancurkan kapitalis bermodal
kecil dan setelah itu akan tampil memonopoli pasar.
Ketika sang kapitalis pemenang telah berhasil tampil memonopoli
pasar, maka tindakan yang dilakukan selanjutnya adalah menghancurkan
komoditinya sendiri yang bermutu baik dan kemudian menciptakan komoditi yang
bermutu rendah demi untuk melakukan akumulasi kapital untuk kepentingan si
kapitalis pemenang itu sendiri. Inilah rimba persaingan antar kapitalis yang
bengis, dimana yang paling kuatlah yang memiliki kesempatan untuk tampil ke
muka memasarkan komoditi-komoditi yang diciptakan oleh para buruh yang hidup
dalam ketertindasan.
Kontradiksi komoditi tidak hanya terjadi di rimba persaingan
pasar, tetapi juga terjadi di jantung mekanisme penghisapan hasil curahan kerja
buruh upahan dalam bentuk “di satu sisi si kapitalis menginginkan keuntungan
yang sebesar-besarnya, namun di sisi lainnya para buruh menginginkan upah
setinggi-tingginya sesuai dengan curahan kerja yang telah diberikannya kepada
komoditi yang berada di tangan kapitalis.” Kontradiksi ini dapat terjadi di
bawah permukaan, tetapi dapat pula mencuat ke permukaan.
Ketika kontradiksi terjadi di bawah permukaan, pada saat itu
sebenarnya buruh kesadarannya sedang terhegemoni, tidak sadar bahwa dia sedang
ditindas, namun walau pun tidak sadar secara fisik perlawan-perlawanan terhadap
penindasan itu bisa diamati dengan prilaku para buruh yang, misalnya, bosan
dalam bekerja, merasa stres dalam bekerja, ngerumpi/menggosipkan prilaku si
Boss yang menjengkelkan, rasa gembira yang meluap-luap ketika jam istirahat dan
jam pulang sudah tiba, dan berbagai bentuk prilaku lainnya.
Meminjam pemikiran dari seorang psikoanalisis, Sigmund Freud,
walau pun orang terlihat tenang, namun di alam bawah sadarnya terjadi gejolak
yang ditampakkannya dalam prilaku-prilaku yang tidak disadarinya dimana prilaku
tersebut tidak ditampakkan sebagai prilaku terang-terangan melawan si penindas.
Selain
prilaku perlawanan dapat terjadi di bawah permukaan, sebagaimana telah penulis
sebutkan, prilaku perlawanan ini dapat mencuat ke permukaan ketika kesadaran
kritis para buruh telah terbentuk, perlawanan-perlawanan ini bisa muncul dalam
berbagai bentuk, namun hal yang sering tampak dari perlawan terang-terangan ini
adalah seperti mogok kerja, demonstrasi menuntut kenaikan upah, menolak sistem
kerja kontrak (outsourching) atau pembentukan serikat-serikat buruh demi untuk
mengkritisi kebijakan perusahaan-kapitalis.
0 komentar:
Posting Komentar